Judul Buku : Sejarah Para Pembesar
Mengatur Batavia
Dituju :
Untuk Semua Orang
Penulis :
Mona Lohanda
Penerbit :
Masup JakartaC1/2007 Tebal Buku : 304hlmn
Kita
selalu diingatkan agar tidak melakukan kesalahan yang sama alias seperti
keledai masuk lubang yang sama. Oleh karena itu bercermin atau belajar dari
pengalaman dan sejarah adalah hal yang dianjurkan. Namun, peringatan dan
anjuran itu seolah diabaikan. Entah karena lupa, pura-pura lupa atau
ikut-ikutan lupa lantaran asyik dengan ‘jabatan’ yang kita pegang. Akibatnya
banyak yang kelak mendapat ganjarannya.
Salah
satu upaya belajar itulah terdapat dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur
Batavia karya Mona Lohanda ini. Sekilas buku ini seolah hanya untuk golongan
tertentu yaitu ‘orang pangkat-pangkat’. Namun, tak ada salahnya kita belajar
bagaimana mereka mengatur Batavia di masa silam karena ada banyak pelajaran
yang bisa diambil.
Jakarta
Milik Siapa?
Jakarta
adalah rumah bagi lebih dari 10 juta orang. Ibu kota negara ini mengemban
begitu banyak fungsi. Pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat pendidikan,
bahkan pusat pariwisata. Multifungsi ini membuat Jakarta tak pernah berhenti
berdenyut.
Jakarta
adalah jantung Indonesia. Roda pemerintahan dan ekonomi tak pernah berhenti
bergulir di kota seluas 661,26 kilometer persegi ini. Sebagai pusat perputaran
rupiah, Jakarta adalah magnit bagi warga daerah. Berduyun-duyun mereka datang
demi mewujudkan mimpi gemilang masa depan.
Kaum
pendatang yang kemudian menetap di Jakarta - dan mengklaim sebagai warga
Jakarta - tidak hanya menimbulkan harmonisasi atas penetrasi dalam budaya yang
berkembang di kota ini. Pergulatan hidup yang keras membuat mereka saling sikut,
bahkan berselisih. Dan ada satu kelompok yang merasa tersisih atas dinamika
ini: Betawi.
Suku
Betawi mengklaim merekalah penduduk asli Jakarta. Merekalah yang seharusnya
pertama menikmati hasil dinamika dan pembangunan Jakarta. Sayangnya, suku bangsa
ini semakin terpinggirkan. Terlebih penggusuran permukiman warga di pusat kota
memaksa mereka pindah ke pinggiran Jakarta.
Padahal,
jumlah masyarakat Betawi di Jakarta tidak sedikit. Sensus 2001 mencatat angka
27 persen atau 2.310.587 jiwa, menempati urutan kedua setelah suku Jawa. Mereka
tersebar di lima wilayah kota, dan masih ada 2.340.000-an jiwa yang berdiam di
Bekasi, Tangerang, dan Depok.
Betawi
sebetulnya bukan penduduk asli Jakarta. Dr Yasmine Zaki Shahab, antropolog
Universitas Indonesia, menaksir suku bangsa ini baru terbentuk satu abad lalu,
antara 1815 - 1893, jauh setelah Gubernur Jan Pieterszoon Coen membangun
Batavia pada 1619. Kelompok ini terbentuk dari perpaduan berbagai suku bangsa
yang telah lama hidup di daerah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanegara: Sunda,
Jawa, Bali, Melayu, Ambon, Sumbawa, serta turunan Arab dan China yang dibawa ke
Jakarta sebagai budak.
Pendapat
ini timbul berdasarkan sensus yang selalu dilakukan pemerintah Hindia Belanda.
Dalam catatan sensus 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai etnis,
namun tidak ada catatan mengenai suku Betawi. Dari hasil studi sejarah
demografi Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle, suku Betawi
muncul sebagai kategori baru dalam catatan sensus 1930 dengan jumlah 778.953
jiwa dan menjadi kelompok yang mendominasi penduduk Batavia waktu itu.
Meski
demikian, sejumlah pakar menduga kesadaran identitas suku Betawi belum mengakar
pada tahun tersebut. Dalam memperkenalkan identitas, mereka lebih senang
menyebut lokasi permukiman, seperti orang Tenabang, Kemayoran, Senen, atau
orang Mampang. Padahal, pengakuan Betawi sebagai satuan sosial dan politik
telah muncul saat Muhammad Husni Thamrin mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi
di tahun 1923.
Memperdebatkan
fakta ini tentu tak akan ada habisnya. Masyarakat Betawi telanjur mengklaim
sebagai warga "pribumi" Jakarta. Mereka terus memperjuangkan apa yang
mereka anggap memang hak mereka, meski kesan negatif yang justru timbul
kemudian. Berbagai tindak premanisme sering diusung oleh banyak organisasi yang
mengatasnamakan warga Betawi. Tindakan sewenang-wenang seperti pengusiran
penyanyi Inul Darastita dari Jakarta beberapa tahun lalu adalah salah satu
contoh yang mencoreng nama mereka.
Badan
Musyawarah Betawi, sebagai induk organisasi legal masyarakat Betawi, mencatat
terdapat 76 organisasi Betawi. Tugas badan musyawarah ini mengawasi dan membina
komunikasi di antara pemimpin kelompok agar tidak terjebak pada kondisi yang
memecah belah persatuan Betawi.
Agaknya
tujuan baik itu masih jauh dari jangkauan. Tentu kita masih ingat perseteruan
Forum Betawi Rempug dan Ikatan Keluarga Betawi yang sama-sama mengusung nama
Betawi yang dipicu oleh faktor ekonomi.
Sumber
: http://www.goodreads.com/review/show/37239660book_show_action=true&from_review_page=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar