Flaming Arrow

Selasa, 29 November 2016

Review Buku : Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia

para_pembesar_batavia

Judul Buku : Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia
Dituju         : Untuk Semua Orang 
Penulis        : Mona Lohanda 
Penerbit      : Masup JakartaC1/2007 Tebal Buku  : 304hlmn


Kita selalu diingatkan agar tidak melakukan kesalahan yang sama alias seperti keledai masuk lubang yang sama. Oleh karena itu bercermin atau belajar dari pengalaman dan sejarah adalah hal yang dianjurkan. Namun, peringatan dan anjuran itu seolah diabaikan. Entah karena lupa, pura-pura lupa atau ikut-ikutan lupa lantaran asyik dengan ‘jabatan’ yang kita pegang. Akibatnya banyak yang kelak mendapat ganjarannya.
Salah satu upaya belajar itulah terdapat dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia karya Mona Lohanda ini. Sekilas buku ini seolah hanya untuk golongan tertentu yaitu ‘orang pangkat-pangkat’. Namun, tak ada salahnya kita belajar bagaimana mereka mengatur Batavia di masa silam karena ada banyak pelajaran yang bisa diambil.

Jakarta Milik Siapa?

Jakarta adalah rumah bagi lebih dari 10 juta orang. Ibu kota negara ini mengemban begitu banyak fungsi. Pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat pendidikan, bahkan pusat pariwisata. Multifungsi ini membuat Jakarta tak pernah berhenti berdenyut. 

Jakarta adalah jantung Indonesia. Roda pemerintahan dan ekonomi tak pernah berhenti bergulir di kota seluas 661,26 kilometer persegi ini. Sebagai pusat perputaran rupiah, Jakarta adalah magnit bagi warga daerah. Berduyun-duyun mereka datang demi mewujudkan mimpi gemilang masa depan.

Kaum pendatang yang kemudian menetap di Jakarta - dan mengklaim sebagai warga Jakarta - tidak hanya menimbulkan harmonisasi atas penetrasi dalam budaya yang berkembang di kota ini. Pergulatan hidup yang keras membuat mereka saling sikut, bahkan berselisih. Dan ada satu kelompok yang merasa tersisih atas dinamika ini: Betawi.

Suku Betawi mengklaim merekalah penduduk asli Jakarta. Merekalah yang seharusnya pertama menikmati hasil dinamika dan pembangunan Jakarta. Sayangnya, suku bangsa ini semakin terpinggirkan. Terlebih penggusuran permukiman warga di pusat kota memaksa mereka pindah ke pinggiran Jakarta.

Padahal, jumlah masyarakat Betawi di Jakarta tidak sedikit. Sensus 2001 mencatat angka 27 persen atau 2.310.587 jiwa, menempati urutan kedua setelah suku Jawa. Mereka tersebar di lima wilayah kota, dan masih ada 2.340.000-an jiwa yang berdiam di Bekasi, Tangerang, dan Depok.

Betawi sebetulnya bukan penduduk asli Jakarta. Dr Yasmine Zaki Shahab, antropolog Universitas Indonesia, menaksir suku bangsa ini baru terbentuk satu abad lalu, antara 1815 - 1893, jauh setelah Gubernur Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia pada 1619. Kelompok ini terbentuk dari perpaduan berbagai suku bangsa yang telah lama hidup di daerah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanegara: Sunda, Jawa, Bali, Melayu, Ambon, Sumbawa, serta turunan Arab dan China yang dibawa ke Jakarta sebagai budak.

Pendapat ini timbul berdasarkan sensus yang selalu dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Dalam catatan sensus 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai etnis, namun tidak ada catatan mengenai suku Betawi. Dari hasil studi sejarah demografi Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle, suku Betawi muncul sebagai kategori baru dalam catatan sensus 1930 dengan jumlah 778.953 jiwa dan menjadi kelompok yang mendominasi penduduk Batavia waktu itu.

Meski demikian, sejumlah pakar menduga kesadaran identitas suku Betawi belum mengakar pada tahun tersebut. Dalam memperkenalkan identitas, mereka lebih senang menyebut lokasi permukiman, seperti orang Tenabang, Kemayoran, Senen, atau orang Mampang. Padahal, pengakuan Betawi sebagai satuan sosial dan politik telah muncul saat Muhammad Husni Thamrin mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi di tahun 1923. 

Memperdebatkan fakta ini tentu tak akan ada habisnya. Masyarakat Betawi telanjur mengklaim sebagai warga "pribumi" Jakarta. Mereka terus memperjuangkan apa yang mereka anggap memang hak mereka, meski kesan negatif yang justru timbul kemudian. Berbagai tindak premanisme sering diusung oleh banyak organisasi yang mengatasnamakan warga Betawi. Tindakan sewenang-wenang seperti pengusiran penyanyi Inul Darastita dari Jakarta beberapa tahun lalu adalah salah satu contoh yang mencoreng nama mereka.

Badan Musyawarah Betawi, sebagai induk organisasi legal masyarakat Betawi, mencatat terdapat 76 organisasi Betawi. Tugas badan musyawarah ini mengawasi dan membina komunikasi di antara pemimpin kelompok agar tidak terjebak pada kondisi yang memecah belah persatuan Betawi.

Agaknya tujuan baik itu masih jauh dari jangkauan. Tentu kita masih ingat perseteruan Forum Betawi Rempug dan Ikatan Keluarga Betawi yang sama-sama mengusung nama Betawi yang dipicu oleh faktor ekonomi. 

Sumber : http://www.goodreads.com/review/show/37239660book_show_action=true&from_review_page=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar