
Judul Buku : Panggil aku Pheng Hwa
Dituju :
Untuk Semua Orang
Penulis :
Venven Sp. Whardana
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Juni 2013.
Cetakan :
Cetakan pertama, Februari 2002, Cetakan Kedua 2013.
Tebal Buku :
XIV + 252 Hlm
- Cerita Singkat atau
Resensi
Pheng Hwa harus mengubah
namanya agar bisa dianggap bagian dari Indonesia. Siao Cing Hwa terpaksa meng
ungsi ke Belanda setelah tunangannya tewas dalam sebuah huruhara. Sekalipun
belum pernah ke Indonesia, Xiao Qing mengalami trauma ketka bertemu lelaki asal
Indonesia di Nepal. Arwah Hsiao Tsing berusaha menyem purnakan
kematannya, setelah sepanjang hidupnya dieks ploitasi Siluman Pohon Tua. Paopeiyang
me miliki anak asuh pengungsi Aceh sekaligus mempunyai kekasih pencemburu
butamat misterius di kamarnya. Di lain sisi ada lelaki yang senantasa jatuh cinta
pada perempuan berdarah Tionghoa.
Veven Sp.
Wardhana, dengan mata seorang jurnalis yang peka dan cermat terhadap kondisi
sosial, tdak hanya mengisahkan likuliku kehidupan komunitas Tionghoa, tetapi
juga menyorot kehidupan masyarakat yang multkultur, di Indonesia maupun di
Eropa. Di dalam kumpulan cerita pendek ini, ada cerita tentang tersangka
teroris asal Aljazair di Prancis, percintaan seorang istri dengan lelaki
berdarah Portugis di atas kapal Sungai Rhein, Jerman; juga love afair di
kawasan triad Paris sampai kisah perempuan penyanyi dangdut di sudut Jakarta.
- Review Buku
“Panggil saja nama saya:
Peng Hwa.” Demikian awal kalimat di paragraf akhir cerita pendek yang menjadi
salah satu andalan penulis di buku ini. Setidaknya judul “Panggil Aku Peng Hwa”
(2002), diletakkan di awal halaman buku. Sebelumnya tulisan itu sempat
diterbitkan oleh Harian Kompas 11 Oktober 1998, lima bulan pasca tragedi yang
menimpa mayoritas etnis Tionghoa di Jakarta. Baginya, Peng Hwa bukan sekadar
nama. Tapi sebuah identitas etnis yang berkaitan dengan sejarah sebuah bangsa
berperadaban tinggi. Namun, saat identitas etnis itu tak lagi dihargai, tak
diinginkan menjadi bagian dari bangsa Indonesia, nama Effendi Wardana –sebuah
nama pemberian negara– muncul, menjadi alat negosiasi untuk bisa
meng-Indonesia, untuk tetap hidup. Namun sebaliknya, nama “Peng Hwa” di akhir
cerita itu hadir sebagai noktah tegas tentang hak minoritas etnis Cina di
Indonesia. Sebuah komunitas etnis yang mengalami pahit-getir rezim yang
berkuasa. Bahkan untuk sekadar memiliki nama bermarga saja tidak bisa. WNI
keturunan, Waniktio (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa), atau nama
pemberian negara, adalah model pengelolaan keragaman etnis yang sangat bias.
Tidak banyak gugatan yg
oleh penulisnya, Veven, siratkan dalam cerpen-cerpennya. Tapi, tidak banyak
bukan berarti kurang tajam, justru sebaliknya, gugatan-gugatan Veven dalam
beberapa cerpennya, cukup tajam dan tepat sasaran. Dan dari sekian fokus
sasaran itu, yg paling saya suka adalah bagaimana dia, dengan mata jurnalisnya,
menggambarkan kondisi kehidupan, fisik dan/atau batin orang-orang Tionghoa
pasca kemarutan sosial politik di Indonesia tahun 1998. Dia dengan jeli
menangkap, bagaimana kehidupan orang-orang minoritas yang telah ataupun berpotensi
menjadi korban.
Peristiwa kekerasan yang
menimpa mayoritas etnis Cina di Jakarta pada Mei 98, coba direkonstruksi dan
menjelajahi kepingan emosi korban yang selamat dan kebanyakan berada di luar
negeri. Sosok Siao Cing Hwa yang terpaksa mengungsi ke luar negeri setelah
tunangannya tewas akibat kerusuhan di Indonesia, trauma yang dirasakan oleh
tokoh Xiao Qing, atau arwah penasaran perempuan Tionghoa bernama Hsiao Tsing,
menjadi kronik identitas perempuan Tionghoa yang mengalami represi dan
pergolakan zaman. Belanda, Prancis, Kanada, dan Nepal, menjadi lokasi tutur
serta narasi yang menghubungkan antara penulis dengan tokoh-tokoh rekaannya,
beserta anasir-anasir cerita fiksi memberi konteks yang kuat. Bumbu romantika,
percintaan, dan perselingkuhan, menjadi ‘selera’ sastra yang nampaknya sulit
ditinggalkan penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar