Flaming Arrow

Selasa, 29 November 2016

Review Buku : Panggil Aku Pheng Hwa

Image result for panggil aku pheng hwa

Judul Buku            : Panggil aku Pheng Hwa
Dituju                    : Untuk Semua Orang
Penulis                  : Venven Sp. Whardana
Penerbit                 : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Juni 2013.
Cetakan                 : Cetakan pertama, Februari 2002, Cetakan Kedua 2013.
Tebal Buku            : XIV + 252 Hlm


- Cerita Singkat atau Resensi

Pheng Hwa harus mengubah namanya agar bisa diang­gap bagian dari Indonesia. Siao Cing Hwa terpaksa meng ungsi ke Belanda setelah tunangannya tewas dalam se­buah huru­hara. Sekalipun belum pernah ke Indonesia, Xiao Qing mengalami trauma ketka bertemu lelaki asal Indonesia di Nepal. Arwah Hsiao Tsing berusaha menyem   ­purnakan kematannya, setelah sepanjang hidupnya di­eks ploitasi Siluman Pohon Tua. Pao­peiyang me miliki anak asuh pengungsi Aceh sekaligus mempunyai kekasih pencemburu butamat misterius di kamarnya. Di lain sisi ada lelaki yang senantasa jatuh cinta pada perempuan berdarah Tionghoa. 
 Veven Sp. Wardhana, dengan mata seorang jurnalis yang peka dan cermat terhadap kondisi sosial, tdak hanya me­ngisahkan liku­liku kehidupan komunitas Tionghoa, tetapi juga menyorot kehidupan masyarakat yang multkultur, di Indonesia maupun di Eropa. Di dalam kumpulan cerita pendek ini, ada cerita tentang tersangka teroris asal Al­jazair di Prancis, percintaan seorang istri dengan lelaki berdarah Portugis di atas kapal Sungai Rhein, Jerman; juga love afair di kawasan triad Paris sampai kisah perempuan penyanyi dangdut di sudut Jakarta.

- Review Buku

“Panggil saja nama saya: Peng Hwa.” Demikian awal kalimat di paragraf akhir cerita pendek yang menjadi salah satu andalan penulis di buku ini. Setidaknya judul “Panggil Aku Peng Hwa” (2002), diletakkan di awal halaman buku. Sebelumnya tulisan itu sempat diterbitkan oleh Harian Kompas 11 Oktober 1998, lima bulan pasca tragedi yang menimpa mayoritas etnis Tionghoa di Jakarta. Baginya, Peng Hwa bukan sekadar nama. Tapi sebuah identitas etnis yang berkaitan dengan sejarah sebuah bangsa berperadaban tinggi. Namun, saat identitas etnis itu tak lagi dihargai, tak diinginkan menjadi bagian dari bangsa Indonesia, nama Effendi Wardana –sebuah nama pemberian negara– muncul, menjadi alat negosiasi untuk bisa meng-Indonesia, untuk tetap hidup. Namun sebaliknya, nama “Peng Hwa” di akhir cerita itu hadir sebagai noktah tegas tentang hak minoritas etnis Cina di Indonesia. Sebuah komunitas etnis yang mengalami pahit-getir rezim yang berkuasa. Bahkan untuk sekadar memiliki nama bermarga saja tidak bisa. WNI keturunan, Waniktio (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa), atau nama pemberian negara, adalah model pengelolaan keragaman etnis yang sangat bias.
Tidak banyak gugatan yg oleh penulisnya, Veven, siratkan dalam cerpen-cerpennya. Tapi, tidak banyak bukan berarti kurang tajam, justru sebaliknya, gugatan-gugatan Veven dalam beberapa cerpennya, cukup tajam dan tepat sasaran. Dan dari sekian fokus sasaran itu, yg paling saya suka adalah bagaimana dia, dengan mata jurnalisnya, menggambarkan kondisi kehidupan, fisik dan/atau batin orang-orang Tionghoa pasca kemarutan sosial politik di Indonesia tahun 1998. Dia dengan jeli menangkap, bagaimana kehidupan orang-orang minoritas yang telah ataupun berpotensi menjadi korban.
Peristiwa kekerasan yang menimpa mayoritas etnis Cina di Jakarta pada Mei 98, coba direkonstruksi dan menjelajahi kepingan emosi korban yang selamat dan kebanyakan berada di luar negeri. Sosok Siao Cing Hwa yang terpaksa mengungsi ke luar negeri setelah tunangannya tewas akibat kerusuhan di Indonesia, trauma yang dirasakan oleh tokoh Xiao Qing, atau arwah penasaran perempuan Tionghoa bernama Hsiao Tsing, menjadi kronik identitas perempuan Tionghoa yang mengalami represi dan pergolakan zaman. Belanda, Prancis, Kanada, dan Nepal, menjadi lokasi tutur serta narasi yang menghubungkan antara penulis dengan tokoh-tokoh rekaannya, beserta anasir-anasir cerita fiksi memberi konteks yang kuat. Bumbu romantika, percintaan, dan perselingkuhan, menjadi ‘selera’ sastra yang nampaknya sulit ditinggalkan penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar